Proses Pengkabaran Injil Di Tanah Batak
Sejarah Pekabaran Injil Masuk Tanah Batak
Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) lahir dari proses panjang dan
dramatis gerakan Pekabaran Injil yang bangsa Belanda, Amerika, dan
Jerman. Sejak paruh abad ke-19 HKBP lambat laun berkembang menjadi
Gereja muda paling besar di dunia.
Pekabaran Injil atau Zending sudah memasuki Indonesia pada masa
pendudukan Portugis di kepulauan Maluku (1512-1605) ditandai dengan
menetapnya beberapa misionaris Yesuit (Katolik Roma) di Ternate, pada
tahun 1522.
Penakluk VOC (Verenigde OosIndicshe Compagine) terhadap Portugis di
Maluku pada tahun 1605 memulai babak baru Pekabaran Injil oleh Gereja
Protestan. Akan tetapi, awal abad ke-19 tetap dicatat sebagi masa-masa
bersejarah Pekabaran Injil di Indonesia, dengan bekerjanya sejumlah
organisasi Zending oleh Gereja-gereja Protestan dari Belanda dan Jerman
(baca : Pekabaran Injil di Indonesia).
Organisasi Pekabaran Injil Belanda yang sudah melakukan misinya di
Indonesia adalah Nederlandse Zendeling Genootschap (NZG), dimulai selama
Belanda di bawah kekuasaan Perancis (1795-1813) dan Indonesia di bawah
pemerintahan sementara Inggris (Gubenur Jenderal Refles (1811-1816).
Perhimpunan Belanda lainnya yang menyusul adalah Nederlandse
Zendingsvereniging (NZV), Utrechtse Zendingsvereniging (UZV), sedangkan
dari Jerman adalah Rheinische Missinsgesekkschaft (RM).
Biasanya pekabaran Injil dilakukan tersebar di koloni-koloni pemerintah
Belanda di sejumlah pulau di Indonesia, antara lain di Jawa Barat, Jawa
Timur, Sulawesi Tenggara, Irian, Halmahera, Buru, Poso, Sangir, dan
Talaud.
TERTUTUP
Ketika pekabaran Injil sudah dilakukan secara sistematis di sejumlah
daerah di Indonesia tidak demikian halnya di Tanah Batak (Utara).
Kawasan ini masih sangat tertutup seperti dikelilingi kabut misteri.
Suku Batak Toba yang mendiaminya tetap asyik dengan kehidupan sosial
yang dicengkeram agama suku, masih pelbegu, peradaban yang cenderung
primitif karena hidup dalam permusuhan, perbudakan, penculikan,
perampokan, perjudian, dan kanibalisme. Maka istilah “Jangan coba-coba
mendekati orang Batak” memaksa Burton dan Ward menarik langkah mereka
mundur dari Tanah Batak saat berkunjung Juli 1824. Burton dan Ward
adalah utusan Babtist Church of England, tercatat sebagai misionaris
pertama yang mengunjungi Tanah Batak.
Setelah kunjungan Burton dan Ward, ditaksir pada tahun 1825, pasukan
Padri dan Bonjol, Minagkabau yang dipimpin Tuanku Rao menyerang Tanah
Batak. Serangan mendadak berkekuatan 15.000 pasukan berkuda membasmi
lebih dari separuh komunitas Batak Toba, peristiwa genocide (pembantaian
suku) yang sangat mengerikan dalam sejarah Batak. Sebagian korban
meninggal diakibatkan epidemi ganas yang berasal dari bangkai binatang
peliharaan dan mayat-mayat yang tidak sempat dikubur.
Ada dua versi mengenai penyerangan Padri.
Pertama, upaya penyebaran agama Islam oleh Imam Bonjol yang dikenal sebagai penganut mazhab Hambali berhaluan keras.
Kedua, aksi balas dendam Tuanku Rao terhadap Raja Sisingamangaraja X.
Konon, Tuanku Rao adalah si Pongki Nangolngolan, bere (keponakan) Raja
Sisingamangaraja X yang diusur dari istana waktu masih kecil. Raja
Sisingamangaraja sendiri tewas di tangan Tuanku Rao dengan cara
dipenggal dari belakang.
Penyerangan Padri menimbulkan trauma di kalangan suku Batak Toba dan
sangat menaruh curiga pada setiap pendatang. Bisa jadi sikap itulah yang
diperlihatkan peristiwa Samuel Munson dan Henry Lyman yang mati martir
di Sisangkak (sekarang masuk Kecamatan Adiankoting) 28 Juli 1834. Dua
misionaris utusan Gereja Amerika dibunuh Raja Panggalamei. Mayat mereka
di pertontonkan di sebuah pekan di Lobupining, tidak jauh dari
Sisangkak, sebagai tanda kemenangan. Konon, mayat kedua martir itu
dimakan hingga tinggal kerangka.
Mundurnya Burton Ward serta tewasnya Munson-Lyman menjadi alasan
pembenaran bagi pemeritah Hindia Belanda melarang para misionaris
memasuki Tanah Batak.
Belanda sendiri sudah sudah menguasai Sumatera Barat dan Tanah Batak
Bagian selatan (Mandailing dan Angkola) setelah berhasil menaklukkan
pasukan Padri dalam perang yang disebut Padri Oorlog (perang Padri) pada
tahun 1837. Pada tahun itu juga Belanda telah menarik garis-garis
perbatasan antara daerah-daerah Batak yang mereka kuasai dengan daerah
Batak yang belum dikuasai. Daerah Batak yang diuasai Belanda adalah
pantai Barus, Natal, Mandailing, Barumun-Sosa, Padang Batak Angkola, dan
Sisirok. Daerah-daerah itu disebut Keresidenan Tapanuli dipimpin
seorang residen berkedudukan di Sibolga. Sedangkan daerah Batak yang
belum dikuasai Belanda –disebut “Daerah Batak Merdeka” (De
Onafhankelijke Bataklanden) terdiri dari kawasan yang didiami Batak
Toba, yaitu Silindung, Humbang, Toba, dan Samosir.
MISIONARIS ERMELO
Secara umum Pekabaran Injil di dunia adalah mengkuti pembukaan segala
benua melalui gerakan imperialisme dan kolonialisme. Maka, tak heran
apabila mesionaris perintis di Tanah Batak tertahan di Sipirok dan
Angkola yang sudah masuk dalam penaklukan Belanda, belum masuk ke Tanah
Batak sebelum daerah itu betul-betul masuk dalam kekuasaan Belanda .
Setelah Burton–Ward dan Munson Lyman, misionaris perintis lain yang
menyusul adalah Gerrit van Asselt. Dia diutus Ds Wetteven dari kota
Ermello, Belanda, tiba di Sumatra Mei 1856 dan berpos di Sipirok ,1857.
Organisasi yang megirimkan Gerrit van Asselt sangat kecil, bahkan dalam
buku Sejarah Gereja, karangan Dr.H .Berkog dan Dr. IH Enklar sama sekali
tidak disebut-sebut. Ada yang mencatat Zending Ermello berada di bawah
naungan Nederlandse Zendingsvereniging (NZV). Akan tetapi, karena NZV
baru berdiri pada tahun 1856, besar kemungkinan Zending Ermello berada
di bawah naungan Nederandse Zending–Genootschap (NZG) yang berdiri pada
tahun 1797, sebuah organisasi Zending dari mana NZV berasal.
Karena ketiadaan dana Gerrit van Asselt pun membiayai sendiri
tugas–tugasnya sebagai penginjil. Hasilnya tentu tidak maksimal karena
konsentrasinya terbagi sebagai opzichter (pelaksana) pembangunan jalan
di Sibolga dan kemudian menjadi opzichter (administrator) gudang kopi
milik Belanda di sipirok. Zending Ermelo mengirimkan lagi beberapa
misionaris mendaampingi Gerrit van Asselt, yaitu FG Betz, Dammerboer,
Koster, dan van Dallen. Misionaris menyusul ini bekerja sebagai tukang,
mengingatkan model Pekabaran Injil yang dilakukan Ds. OG Heldring di
Irian, Sangir dan Talaud.
Koster dan van Dalen ditempatkan di Pargarutan. Van Dallen kemudian
pindah ke Simapilapil. Dammerbooer jadi opzichter di sekolah Belanda
sebelum ke Huta Rimbaru dan masuk ke Mission Java Komite. Gerrit van
Asselt sendiri pada 31 Maret 1961 membaptis orang Batak Kristen pertama,
Simon Siregar dan Jakobus Tampubolon di Sipirok.
MISIONARIS UTUSAN RM
Semangat Pekabran Injil de Eropah tak lagi tergantung pada kerjasama
suatu Gereja dengan pemerintahnya yang melakukan kolinialisasi ke
berbagai benua. Di Jerman, di tepi sungai Zending. Rheinische
Missionsgesellschaft(RM) yang berdiri pada tahun 1818 mengutus
misionaris ke daratan luas dan suku-suku bangsa besar di Afrika dan
Tiongkok, termasuk ke Indonesia yang berada di bawah penguasaan Belanda.
Di Indonesia, RM pertama sekali mengkosentrasikan perkerjaannya di
Kalimantan Tenggara sejak tahun 1836. Pada tahun 1859 meletus Perang
Banjar yang dipimpin Pangeran Hidayat. Perang tersebut menelan banyak
korban tewas – termasuk 4 pendeta, 3 istri, dan 2 anak Mereka. RM
terpaksa mengundurkan Pekabaran Injil di sana lalu memindahkannya ke
Tanah Batak (1861), Nias (1865), Mentawai (1901), dan Enggano (1903),
Pekabaran Injil yang ditinggalkan RMG di Kalimantan Tenggara diteruskan
Basler Mission Dari Swiss.
Pemindahan Zendeling dari Kalimantan ke Tanah Batak terkait dengan
penugasan pimpinan RM, Inspektur Dr.Friedrich Fabri kepada misionaris
yang tertahan di Batavia akibat Perang Banjar, pada tahun 1860. Ketika
itu Febri berkunjung ke Amsterdam, Belanda. Dia sangat tertarik pada
dokumen van der Took mengenai suku Batak Toba yang ditelitinya pada
tahun 1849. Fabri mengutus Hoefen mengunjungi Tanah Batak, dan
berdasarkan laporan Hoefen RM menugaskan dua misionaris, Klammer yang
bertahan di Batavia dan Heine yang langsung didatangkan dari Barmen, ke
Tanah Batak. Keduanya tiba di Sibolga 17 Agustus 1961 dan memilih
Sipirok sebagai pos utama. Heine dan Klammer tinggal melapor ke residen
Tapanuli di Sibolga karena Fabri sudah lebih dahulu meminta izin atas
penugasan kedua misionaris itu ke pemerintahan Belanda.
HARI JADI HKBP
Tanggal pembagian tugas inilah yang kemudian dicatat sebagai hari jadi atau lahirnya HKBP (Huria Kristen Batak Protestan).
NOMMENSEN
Ingwer
Ludwig Nommensen (1834 – 1918) merupakan tokoh sentral Pekabaran Injil
di Tanah Batak. Dialah yang kemudian dijuluki sebagai “Rasul Batak” yang
menjadikan suku Batak Toba menjadi suku bangsa maju.
Dia menginjakkan kaki di Barus Juni 1862, ditempatkan oleh rekan-rekan
pendahulunya di Parausorat Desember 1862, lalu menginjakkan kaki di
Silindung November 1863. Pekerjaan di perbatasan, menurutnya tidak
memadai karena dominan penduduknya sudah memeluk agama Islam. Tak ada
cara lain kecuali memasuki Tanah Batak, Silindung adalah pilihan utama
karena jumlah penduduknya sangat besar, meskipun ditentang pemerintah
Hindia Belanda, harus ditempuh melalui medan yang berat yaitu hutan
belantara yang penuh marabahaya, serta kemungkinan ditolak bahkan bisa
terbunuh.
Dr.H.Berkof dan Dr.IH Enklaar dalam sejarah Gereja mencatat, ”sungguhpun
mula-mula pekerjaannya (pekerjaan Nommensen) amat susah dan ia sering
ditimpa sengsara dan bahaya, tetapi ia bernubuat: Aku melihat seluruh
daerah ini ditaburi dengan gedung-gedung gereja dan sekolah! Sekarang
ramalan itu sudah di genapi, karena oleh strategi Zending yang cakap,
pimpinan yang kuat, pekerja yang banyak dan latihan pengantar-pengantar
jemaat dan guru sekolah dengan secukupnya dari permulaan, maka lama
kelamaan Gereja Kristus di Tanah Batak meluas sampai menjadi Gereja muda
paling besar di dunia.”
Lothar Schreiner,dalam bukunya Adat dan Injil membuat tahapan sejarah
pengkristenan orang Batak denga merujuk pada tugas pelayanan Ingwer
Ludwig Nommensen dan di mulainya pekabaran Injil oleh RMG (Rheinische
Mission Gesellschaft) di tanah Batak.
1861-1881:
di sebut sebagai peletakan dasar-dasar pertama perkabaran Injil oleh
Nommensen dan PH johansen di lembah silindung,dengan sokongan kuat dari
penguasa lokal Raja Pontas Lumbantobing,di susul dengan penerjemahan
kitab-kitab dasar untuk jemaat-jemaat, yakni Katekismus Kecil pada tahun
1874 dan perjanjian baru pada tahun 1878.Tata Gereja yang pengaruhnya
paling dalam serta lama karena berlaku sampai tahun 1930, diberlakukan
mula-mula pada tahun 1881.
1881-1901:
Nommensen memindahkan tempat kediamannya ke Toba dan merencanakan serta
memimpin sendiri pekerjaannya. Didirikanlah jemaat-jemaat dalam wilayah
yang semakin luas di daerah-daerah danau Toba dan di tampung
golongan-golongan besar, sehingga terbentuklah suatu gereja suku. Pada
tahun 1885 pendeta-pendeta pertama ditahbiskan. Sampai dengan tahun 1901
sudah 48.000 orang Batak dibaptiskan.
1901-1918:
masih dicirikan oleh prakarsa Nommensen termasuk melakukan pekabaran
Injil ke Batak Simalungun. Di Simalungun pengkristenan tidak lagi
berlangsung begitu sistematis sebagaimana terjadi di kalangan Batak
Toba. Barulah setelah tahun 1940 sebagian besar orang-orang Batak
Simalungun berhasil dikristenkan.
1918-1940:
ditandai dengan pekerjaan J.Warneck sebagai Ephorus menggantikan
Nommensen yang meninggal dunia pada tahun 1918, melalui suatu tata
gereja yang baru membuat Gereja Batak mandiri secara yuridis. (Dalam
bukunya Lothar Schreiner menyebut HKBP dengan Gereja Batak). Barulah
pada 1940 HKBP berhasil mandiri dalam arti yang sebenarnya, yakni ketika
para zendeling jerman diinternir dan sinode memilih seorang pendeta
Batak, K.Sirait menjadi ephorus.
1940-1954:
ditandai dengan masa pendudukan Jepang dan masa revolusi di Indonesia.
Pendidikan pendeta dan penyelenggaraan jemaat-jemaat dilakukan tanpa
bantuan dan sokongan luar negeri. Hubungan-hubungan dengan luar negeri
pulih ketika HKBP menjadi anggota yang ikut mendirikan Dewan
Gereja-gereja se-Dunia (1948) dan dengan pengakuan Iman sendiri (1951)
memasuki Federasi Gereja-gereja Lutheran se-Dunia(1952).
1954-hingga buku Gereja dan Injil,ini diterbitkan pada tahun 1972:
ditandai dengan didirikannya Universitas Nommensen (1954) dengan
kira-kira 3.000 mahasiswa pada tahun 1971, dan suatu tata gereja baru
(1962) yang dengannya dihapuskan sinode distrik. HKBP juga mengembangkan
usaha pendidikan dan penginjilan dikalangan orang-orang Jawa di
Sumatera Timur, orang-orang Sakai di Riau, dan di Malaysia. Pada
permulaan tahun 1960-an HKBP hampir mempunyai 900.000 anggota di
sumatera dan banyak jemaat di pulau lainnya dan di Singapura.
Dalam perkembangannya HKBP beberapa kali mengalami peristiwa
“ditinggalkan jemaat”, di mulai tahun 1927 dengan berdirinya Mission
Batak, disusul Huria Christen Batak (HCB), Punguan Kristen Batak (PKB),
dan Huria Kristen Indonesia (HKI). Pada tahun 1964 sejumlah anggota
keluar dan menamakan diri Gereja Kristen Protestan Indonesia (GKPI).
Atas kemelut HKBP yang terjadi pada tahun 1990-an sejumlah anggota juga
banyak yang pindah ke Gereja lain. Menurut Almanak HKBP tahun 2007 HKBP
memiliki 3.139 gereja yang tersebar di Indonesia bahkan di Singapura dan
Amerika Serikat. Dengan jumlah lebih dari 5 juta jemaat HKBP di catat
sebagai lembaga keagamaan dengan jumlah angota terbesar ketiga setelah
Nahdatul Ulama (NU) dan Muhamadiyah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar